Error: No feed found.
Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.
Selalu ada cerita dari setiap perjalanan *ceilah, tapi ngga pernah membayangkan bisa mengalami yang satu ini: GAGAL TERBANG. Well, dengan tujuan sharing biar ngga terulang di orang lain, semoga betah ya ngikutin drama yang bikin emosi ini ehee.
So, let me tell you a bit about the background dan proses persiapan visa sebelum menuju momen puncaknya.
Sebagai pemegang paspor Indonesia biasa tentu saja aku butuh urus visa untuk bisa masuk Jepang. Maka dari itu aku siapkan semua persyaratan dan urus di Japan Embassy yang berlokasi di Chiang Mai. Persyaratan sangat jelas dan prosesnya juga gampang; tinggal siapin dokumen, apply, bayar dan ambil setelah satu minggu. Taraaa~ visa sudah tertempel rapi dan siap berangkat.
Nah, beda cerita sama Sasnita – my travel partner – yang memutuskan untuk pakai visa waiver. Seperti yang kita semua tahu bahwa kita ngga perlu bayar apapun kalau pakai paspor elektronik dan aplikasinya bisa dilakukan online di sini. Singkatnya, setelah semua proses beres, dia dapat notifikasi via email yang menyatakan kalau pendaftaran completed. Ditulis dengan jelas juga bahwa nanti ketika sampai di imigrasi Jepang cukup login ke akun dan menunjukkan status visanya.
Dengan wajah bahagia kami pergi lebih awal ke bandara Suvarnabhumi. Sampai akhirnya konter check-in di buka dan kami langsung antri jam 19.30. Setelah 45 menit, giliran tiba dan di depan konter kami berikan paspor plus visa, dan bukti pemesanan. Di sini seorang staf bilang kalau punya Sasnita ngga diterima karena visanya harus ditempel di paspornya. Nah, kan aneh apa yang mau ditempel kalau dia aja dapat visa waiver karena e-paspor. Kami jelaskan deh tentang e-paspor Indonesia, visa waiver, dan prosedur aplikasi visanya. Bahkan kami tunjukkan dengan jelas bahwa dia cukup menunjukkan status di akun itu online ketika tiba di Jepang. Yaa.. siapa tau mereka kurang update dan paham soal ini.
Dengan wajah bingung dan ngga yakin, mereka meminta kami melipir ke konter sebelah yang lagi kosong. Koper yang sudah hampir masuk diambil lagi, tiket yang sudah tercetak ditahan juga sama mereka. Ada sekitar dua orang yang sedang melakukan pengecekan, bahkan mereka menghubungi staf dari maskapai lain untuk memastikan hal ini. Akhirnya kami coba minta consent form (cmiiw) biar kalau kenapa-kenapa mereka ngga perlu tanggung jawab. Tapi ditolak karena kata staf, mereka harus bayar atas resiko yang akan terjadi nanti. Dah tuh mulai emosi dari sini. Sudah kaya gini, ada staf yang bilang harusnya pdf via email tadi dicetak biar lebih gampang. Like what? I mean… dokumen cetak sama digital isinya beda ta?
Waktu terus berjalan, kami masih harus menunggu. Lalu salah seorang staf menghampiri kami dan melakukan pengecekan status visa Sasnita melalui sistem mereka. Hasilnya ID aplikasi tidak terdeteksi, kaget banget gak tuh. Bisa-bisanya ngga ketemu ID nya padahal kami sudah pakai nomor yang sesuai dari mofa. Kami akhirnya coba ikut tracking melalui link yang sama. Hasilnya ngga berubah. Mulai panik, bingung, pengen nangis. Nah, dari yang kita pahami, ternyata website yang mereka pakai ini ngga official dari pemerintah Jepang (cmiiw yang tahu soal ini). Makanya kami ngotot ke mereka mau masukin nomor ratusan kali juga ngga akan ketemu hasilnya karena website aplikasinya beda. Dan mereka juga masih ngeyel kalau website itu resmi dan kalau statusnya valid pasti ada hasilnya di situ. Itu berarti mereka anggap kalau pendaftaran visa waiver Sasnita ngga valid. Ya Allaaah, aku emosi lagi, gais!
Waktu tersisa sekitar 15 menit sebelum konter check-in tutup. Kami makin panas dan mereka ngga ada tanda-tanda mau menerima dokumen Sasnita. Katanya, urus lagi aja ke embassy Jepang. Gundule! Saran lain yang mereka kasih adalah suruh refund dan ngga bisa terbang. Helloo? Are you kidding me? Akhirnya kami coba telepon seseorang dari agensi travel di Indonesia untuk memastikan apa yang salah dari visa waiver Sasnita. Dia mencoba input nomor registrasi visa beberapa orang yang sudah balik dari Jepang (berarti acc dari imigrasi Jepang, gais) ke website yang sama. Hasilnya? Tidak terdeteksi LOL!
Konter check-in tutup. Kami ditolak terbang. Emosi, beneran nangis, dan pen misoh gaes 🤣. Yang kami tau ada dua pilihan yang ada: lapor ke embassy di Thailand dan ajukan komplain ke maskapai esok paginya untuk dapat ganti, atau beli tiket pesawat baru. Ada, sih, pilihan ketiga yang sempat muncul, cancel semua booking dan terbang ke negara lain tanpa visa wkwkkw too desperate, no?
Bermodal capek batin, fisik, mental dan setengah linglung, kami hampiri konter maskapai satu persatu yang masih buka. Ngga mungkin, kan, nunggu semalaman di bandara sambil ngomel-ngomel ngga jelas. Selain itu pilihan untuk pergi ke kedutaan Indonesia di Bangkok dan urus komplain terlalu melelahkan. Pencarian akhirnya berakhir di Thai Airways. Setelah konfirmasi di awal bahwa ngga ada yang salah dari dokumen tadi, kami putuskan membeli tiket untuk flight jam 8 pagi tanggal 31 Mei.
Long story short, waktu check-in tiba. Dengan modal doa yang banyak biar ngga terulang kejadian sebelumnya, kami masuk antrian. Dag dig dug pas mereka cek paspor dan bukti tiket. Tiba-tiba diminta masukin bagasi dan beres. Lah giliran kami yang bingung, udah gitu doang? Heh? Rupanya mba-mba stafnya pinter banget, pas kami sodorin dokumen kami, katanya paspor kami ngga butuh visa karena dapat exemption. Ya Allaaaaah terharuuu! Kok ngga kabeh pinter koyo ngenee!
Enam jam perjalanan membawa kami ke proses imigrasi Jepang dan masih deg-degan takut ngga lolos. Ini bener-bener traumatic experience, gais! Makin lucu rasanya ketika babang imigrasi ngga minta bukti visa sama sekali, langsung tempel stiker dan Irasshaimase!
Pertanyaan pentingnya adalah, HEH AIR MACAU trus aku salah opoooo? 😭
Ada cerita dari maskapai yang sama ngga?