Error: No feed found.
Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.
Pagi yang sedikit mendung dengan penyesalan karena tak menyempatkan waktu lebih awal makan sate rembiga. Sebuah makanan khas Lombok yang bahkan sudah direkom sama temen native asli sejak pertama tiba di sini. Rasanya semendung perpisahan yang sudah ada di depan mata, tinggal menunggu jam. Bukan, bahkan kami harus berkejaran dengan waktu untuk mengejar jadwal pesawat. Di waktu yang singkat di Lombok dengan daftar tempat dan makanan yang ngga begitu banyak, tinggal ini yang masih belum sempat aku coba. Dan ngga akan rela pergi dari Lombok kalau belum makan. Mari kita perjuangkan!
Sejak pagi dengan berat hati kami bergegas keluar dari hotel. Dengan barang yang bertumbuk di bagian depan dan tas ransel yang tak kalah beratnya kami memacu gas dengan kencang. Motor matic yang ban depannya goyang itu syukurnya mampu bertahan mengantar sampai ke tujuan. Lokasinya cukup strategis di daerah dengan nama Rembiga, Selaparang, Mataram.
Jam 9.15 WITA kami berhasil tiba di restoran Sate Rembiga Ibu Hj. Sinnaseh, lewat seperempat jam dari jam buka. Meski belum banyak pengunjung yang datang tapi asap sudah mengepul dari pembakaran. Kami hanya punya waktu kurang dari satu jam untuk menikmati makanan ini. Jadi segera saja mengambil duduk di saung dan memesan makanan khas yang disediakan.
Baca juga: Nasi Balap Puyung Inaq Esun
Sate rembiga, bebalung, urap dan teh manis hangat masuk ke daftar pesanan. Menu makanan yang cukup berat untuk sarapan sebenarnya. Tapi entah kapan lagi bisa kembali ke sini, kan? Oke, lemme explain them. Sate rembiga adalah sate sapi dengan ukuran daging yang kecil dan tipis dan lumuran bumbu warna merah. Entah ada campuran kacangnya atau ngga, tapi bumbunya seriusan berlimpah! Meskipun kecil tapi rasanya OH.. MY.. GOD.. enak banget!
Bumbunya merasuk sampai ke semua bagian daging dan empuk. Bukan rasa makanan untuk kamu yang ngga suka pedes, btw. Tapi menurutku rasa pedesnya pas cucok meyong! Ngga bikin kapok makan di tengah-tengah, masih tetep bisa nikmatin rasa bumbu dan rempah yang kuat. Satu porsi berisi sepuluh tusuk dengan harga 25k lebih dari cukup untuk seorang.
Makanan kedua sebagai penyegar dan pelengkap adalah bebalung. Mirip persis sama sop iga. Kuahnya bening dengan perasan jeruk nipis yang sumpah seger banget! Mengalihkan rasa bersalahku menikmati perdagingan di waktu sepagi itu. Sayangnya karena kuahnya ngga panas jadi harus segera disantap sebelum terlanjur dingin. Harganya juga cukup murah yaitu 20k seporsi dengan iga yang banyak. Bisa banget buat berdua ini.
Makanan terakhir yang sempat disarankan seorang teman adalah urap, 8k seporsi. Kupikir bentukannya akan sama kaya urap di Jawa, eh ternyata tampilannya blesteran urap sama plecing gitu. Taoge dan kangkung jadi sayuran utamanya. Di atasnya ada taburan kelapa bumbu, sambal tomat dan yang bikin beda adalah kacang gorengya. Menurutku agak sedikit membingungkan, sih, pas makan ini. Antara mau menikmati rasa urapnya dengan bumbu kelapa atau ala plecing dengan fokus ke sambal. Yaudah, biar perut yang proses, otaknya gausah banyak mikir, mulutnya ngunyah aja! Mayan lah sebagai penyeimbang biar ada ijo-ijonya haha!
Yang terakhir dan ngga boleh ketinggalan buat mengenyangkan perut adalah karbo dari nasi atau lontong. Pas itu kami disajikan beberapa porsi semacam lontong kecil-kecil dengan bentuk kerucut. Ambil sepuasnya sekenyangnya aja, total belakangan! Murah kok, sebiji cukup bayar pake Pak Pattimura atau Cut Meutia saja.
Waktu yang mepet ini cukup disayangkan, sih. Harusnya bisa nikmatin lebih khusyuk, pesen lebih banyak juga. Bahkan masih ada beberapa menu lain yang bisa kamu pesan selain yang aku makan tadi. Diantaranya ada sate pusut, sate hati dan pepes ikan. Harganya juga ngga beda jauh, kok. Aman di kantong, enak di mulut, kenyang di perut!