“Kamu yakin mau masuk? Ngga malu kan?” she asked me before entering warung kopi Aceh. It was full of boys actually. That was maybe what made her hesitate to come in. As a stranger I just said YES, with no doubt.
Di postingan pertama tentang Aceh, aku sudah sedikit membahas tentang banyaknya warung kopi di Aceh. Dan yeah, I keep my promise. Mau bahas tentang perkopian. Tapi please ini pendapat pribadiku doang, ya, sebagai pendatang yang hanya beberapa hari tinggal. Ohya, aku juga awam dengan dunia kopi, hanya suka menikmati.
Before going there, I had myself educated about the must-visited warung kopi Aceh, the legend one. Dan yah, sudah kukirimkan pada guide terbaikku di sana. Rasa penasaranku sudah memuncak setiap kali melewati warung kopi, di manapun. Yang selalu menjadi pertanyaan adalah, seenak itukah? Kenapa sampai begitu banyak kursi yang ditata di setiap warung? Dan setiap kali aku lewatpun, warung kopi tak pernah sepi. Apakah para penikmatnya tak ada yang pergi bekerja? Hello, itu adalah pagi, siang, dan sore. Working hours, dude!
Ngopi di Aceh itu…
Oke, let’s make things clear. First thing first, warung kopi yang aku maksudkan di sini adalah warung sederhana, besar juga, tapi bukan yang kategori modern seperti kafe. Dan, mereka adalah yang menurutku menjual coffee-based drinks, bukan variasi minuman seperti matcha, latte, taro, and you name it. Di warung semacam ini, jarang kutemukan segerombolan ciwi-ciwi sedang rumpi karena buktinya kaum adam lebih mendominasi. Kalaupun ada biasanya mereka yang sudah memasuki kategori ibu-ibu. Kalau ngga gitu ya para gadis bersama teman-teman cowonya.

Warung kopi Aceh memiliki jam buka yang beragam, sejak jam 6 pagi bahkan. Bukan hanya warung, banyak pula yang buka dadakan di pinggir jalan dekat masjid dan tempat keramaian. Mereka yang baru pulang dari sholat subuh jamaah di masjid biasanya langsung meluncur ngopi. Dan yah, banyak di jual nasi untuk sarapan pagi. Ada yang sudah dibungkus dan ada pula yang buka stall kecil dekat warung kopi. Di semua warung kopi yang aku datangi selalu menyajikan jajanan basah di piring kecil. Tinggal ambil mau yang mana, bayarnya nanti belakangan. Untuk jajanan ini, tanpa dipesan juga pasti dibawakan. Juga, mereka akan sekaligus menyediakan air putih hangat gratis. Obat pahitnya kopi kali, ya? Ehe..
Trus, ngopi yang enak di mana?
Solong Ulee Kareng
Ini adalah kopi pertama yang aku coba. Tepat di hari kedua sebelum berangkat ke Sabang kami mampir kemari. Baru aku tahu belakangan kalau Solong Kopi ini punya banyak cabang. Kebetulan waktu itu kami coba yang di Ulee Kareng, kedai pertama yang dibuka. Solong merupakan salah satu pendahulu warung kopi Aceh. Bahkan, dia menjual produk kopi dengan nama yang sama. Kopi yang dijual beragam, ada arabica dan robusta. Harganya juga bervariasi, mulai 7K sampai 19K. Pagi itu untuk pertama kali kami memesan kopi hitam saring dan sanger panas.

Unfortunately, kopi saring yang kupesan diberi campuran gula. Rasa asli kopi kurang bisa terasa. Kalau ngga salah ingat sedikit asam dengan pahit yang tentu saja tak bisa hilang. Untuk sanger menurutku sudah cukup manis dengan campuran susu kental manis, tapi after taste-nya masih terasa pahit kopi yang enak. Katanya, meskipun Solong membuka beberapa cabang, rasa kopi yang disajikan tak akan sama. Kok bisa? Ya bisa, kan yang buat beda. Setiap tarikan tangan pembuatnya menghasilkan rasa yang beda pula.
Kupi Khop Batoh
Masih di sekitar Banda Aceh, kami mencoba ke kedai kopi dengan menu yang sedikit beda. Namanya Kupi Khop di daerah Batoh. Dengan tema yang sedikit modern, café ini cukup ramai dengan kaum muda baik cewek atau cowok. Dengan PD aku pesan Khop Nen, artinya kopi khop dengan susu. Oh, jadi kopi khop itu adalah cara minum kopi dengan gelas di balik. Iya, mulut gelasnya di bawah. Cara minumnya lucu, sedotan yang udah di selipin di gelas itu ditiup. Ngga perlu kuat-kuat yang penting ada udara masuk ke dalam gelas. Dengan begitu kopi yang ada di dalam gelas akan merembes sedikit demi sedikit ke luar. Nah minumnya diseruput dari alas cangkir itu. Gitu deh seterusnya sampai kopinya habis.

Dengan harga yang lumayan murah, menurutku kopi ini patut dicoba. Bukan karena pertimbangan rasa sih sebenarnya, tapi lebih ke cara minum yang unik. Kalaupun ngga suka yang kopi susu bisa kok pesan yang kopi hitam. Coba deh gugling dulu kalau mau coba kopi ini, ngga di semua tempat jual soalnya.
Forsilakubra
Sejak tiba di Aceh, salah seorang teman merekomendasikan tempat ini padaku. Tempat wajib ketika di Aceh. Kedai Kopi Cut Zein, begitulah nama asli sebenarnya tempat ini. Karena terletak di daerah Beurawe, akhirnya dia lebih dikenal dengan nama Kubra, Kupi Beurawe. Forsilakubra, Forum Silaturahmi Kopi Beurawe, memiliki menu andalan yaitu kopi hitam dan kopi coklat. Terletak di dekat flyover dan sedikit tertutup dedaunan, kami agak sedikit kesulitan menemukan tempat ini. Tapi dengan parkiran motor yang sangat ramai kami yakin tak salah tempat.

After finding a seat, kami memesan segelas kopi coklat panas dan kopi hitam tanpa gula, to know its real taste. Dan yah, kami jatuh cinta. Aku pribadi suka dengan kopi hitamnya, kalau ngga salah Gayo Robusta. Pahit memang, tapi setelah lama aku bisa merasakan manisnya. Dan untuk kopi coklatnya memang juara. Kental, pahit coklat dan ngga bikin eneg. Harga kopi hitamnya per gelas adalah 8K, dan untuk kopi coklat cukup dengan 10K. Saking penasarannya, ketika bayar kami sempatkan tanya coklat apa yang mereka pakai. Ternyata Socolatte, produk coklat khas Aceh.
Black Beans Koffie
Belum puas rasanya kalau belum merasakan kopi gayo di Tanah Gayo. Kami pergi ke Takengon, Aceh Tengah. Sepanjang perjalanan kami sudah disambut oleh ratusan hektar tanaman kopi. Sampainya di sana jujur kami juga tak tahu mau ngopi di mana. Akhirnya random memilih dari Google Maps. Banyak sekali pilihan, tapi pilihan jatuh ke Black Beans. Pertama kali masuk kami takut salah tempat. Ruangannya tak seperti café, tapi penjual roasting beans. Si Kaka cantik menyambut kami ramah, karena kelihatan bingung kali ya, eheheh. Kami meminta menu tapi tak ada, mereka hanya menjual espresso dan sanger.


Jadi Black Beans ini punya 2 tempat yang terpisah, kami masuk ke tempat roasting, café-nya ada di sebelah yang sayangnya kami tak sempat masuk. Ya sudah, karena hanya ada 2 menu itu, kami pesan masing-masing satu cangkir. Si Kaka sedikit kaget dan menjelaskan seperti apa kopi espresso itu. Aku sudah tau dan paham, tapi karena penasaran ya sudah coba saja. Espresso-nya enak. Meskipun mereka pakai arabica yang menurutku sering lebih terasa asam, tapi ini ngga kuat rasa asamnya. Dan untuk segelas kecil sanger, IT WAS THE BEST! Si Upil yang bukan pecinta kopi bahkan menyukainya. Segelas kecil tak cukup, kami pesan lagi. Rasanya sungguh lembut, kalem banget di lidah menurutku. Komposisi yang pas antara susu dan kopi. Padahal katanya mereka juga pakai SKM Frisian Flag, saja!
Jujur selama di Takengon kami sempat ingin mencari pembandingnya. Karena waktu mepet dan tempat yang ingin kami kunjungi tutup akhirnya kami tak mencoba di tempat lain. Jadi kami tak memiliki referensi selain Black Beans. Dibandingkan dengan tempat lain di Banda Aceh, sanger di sini masih jadi juara pertama. Bahkan sebelum pulang kami sempatkan untuk beli take away. Emang ya, ngopi di tempat asal kopi rasanya memang beda. Kalau mau pesen boleh mampir ke sini.
Dhapu Kupi
Inilah tempat ngopi terakhir sebelum akhirnya aku pulang. Kami mampir malam hari karena kebetulan tempat ini buka sampai pagi. Tempat yang strategis di pojokan jalan daerah Sukadamai dan dekat flyover membuat tempat ini mudah sekali diakses. Tempatnya luas dengan warna mencolok merah dan kuning. Mereka juga menjual banyak pilihan makanan. Di sini, semakin malam justru terasa semakin ramai. Aku memesan kopi hitam saring tanpa gula. Sedihnya karena pernah merasakan kopi yang lebih enak, kopi terakhir yang aku minum di sini terasa biasa saja. Syukurnya obrolan malam itu sedikit memberikan kesan Aceh yang menyenangkan.
Wah ternyata aku ga begitu banyak nongkrong di warung kopi. Setelah dibuat daftar gini jadinya sedikit sekali, ya. Eh tapi gini, meskipun sedikit semua tempat yang aku datangi itu memiliki kesan yang berbeda-beda. Tentu dengan ciri khas mereka masing-masing. Aku suka cara orang Aceh bercengkerama ketika mereka di warung kopi. Bukan untuk kerja, bukan untuk nge-game, bukan pula untuk update status. Tapi ya kerena memang mereka ingin berbagi cerita satu sama lain.
Ngopi di Aceh yang punya produk kopi unggulan jadi membuatku penasaran dengan kopi dari berbagai tempat. Secara otomatis membanding-bandingkan dari satu tempat ke tempat lain.
Setelah ini enaknya ngopi di mana, ya?
Pingback: Serambi Mekah Aceh: First Impression – AYMENTARI
Pingback: Tanah Gayo Ternyata Bukan Sebatas Kopi – AYMENTARI