Error: No feed found.
Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.
Pengumuman terdengar, menandakan pesawat akan segera mendarat. Dari jendela, tak bisa kutahan rasa penasaran dan aku intip pulau di bawah sana, indah. Bibir pantai yang panjang mengelilingi seluruh tempat ini, lengkap dengan ribuan pohon kelapa menjulang tinggi. Bandar Udara International Sultan Iskandar Muda mulai terlihat, aku tiba di Serambi Mekah, Aceh.
Jemputan datang, Si Upil muncul dari balik tugu penyangga sambil cekikikan. Sok kaget dengan kedatanganku yang padahal ini semua sudah melalui setting-an doi juga. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, seperti layaknya pendatang baru aku secara otomatis tengok kanan dan kiri, memperhatikan banyak hal baru yang tak biasa kulihat. Masih belum percaya rasanya, menginjakkan kaki di tanah Sumatera. Paling ujung pula! Inilah beberapa hal yang baru buatku, mungkin juga buat kalian.
Hal pertama yang begitu berkesan untukku adalah banyaknya masjid bertebaran di Aceh. Iya, terutama di Aceh Besar karena begitulah yang aku buktikan selama kurang lebih satu minggu keliling ke sana kemari. Sudah punya banyak, masih kurang pula rasanya sehingga pembangunan masih juga berlanjut. Sejauh yang aku tahu semuanya terawat dan terpakai. Kalaupun harus bepergian jauh orang tak perlu kesusahan harus mencari masjid, justru yang dipikirkan mau mampir sholat di masjid yang mana. Yang belum pernah mungkin, yang paling bagus mungkin, dan beberapa preferensi kategori bisa jadi pilihan. Boleh banget kalau mau safari masjid di sini, tapi ya gitu, banyak ehehe.
Pagi ngopi, siang ngopi, sore iya, malam tak boleh kelewatan. Hanya beberapa hari berkeliling Aceh Besar rasanya aku berani menyimpulkan bahwa jumlah penduduk dan warung kopi ini hampir sama. Tentu saja menurut opini pribadi, bukan data asli. Ratusan warung kopi berjejal di sepanjang jalan, hadap-hadapan, dengan puluhan kursi tertata rapi. Buka mulai pagi hingga hampir pagi lagi. Jarang sekali aku menemukan warung kopi yang benar-benar kosong, pasti ada saja pengunjungnya entah beberapa.
Dan satu hal lagi yang aku salutkan adalah setiap orang yang pergi dan nongkrong di warung kopi, ya benar-benar untuk menikmati kopi dan bercengkerama. Tak seperti milenial kebanyakan yang lebih banyak memandang layar handphone mereka daripada memaksimalkan waktu dengan orang di sekeliling. Sebagian besar mereka yang duduk di kedai adalah laki-laki. Bukan berarti tak ada wanita di sana, hanya saja sepertinya beda tipe warung kopi. Maksudnya, kalau laki-laki lebih memilih di warung dan kedai, wanita akan memilih di kafe yang lebih modern atau justru malah stay di rumah. Oh ya, so far aku belum menemukan kopi kekinian macam janji jiwa, kopi kenangan dan temennya, karena sungguh kopi hitam aja enak syekali. Here, you can check it.
Selaw banget sepertinya hidup orang Aceh ini. Ngopi setiap waktu, beli jajan tak pernah ketinggalan, justru pelengkap yang wajib ada. Setiap pagi banyak sekali penjual jajanan basah seribuan di pinggir jalan. Kebanyakan mereka beli untuk bekal anak sekolah, sarapan pagi atau hanya sekedar camilan. Di warung kopi juga sama. Penjual akan menghidangkan satu atau dua piring kecil jajanan sebagai pendampingnya. Bukan hanya penjual makanan ringan; warung, restoran, kedai dan semacamnya juga banyak sekali ditemukan di sini. Ngga perlu takut kelaparan, asalkan cocok dengan bumbu dan rasa makanannya saja. Akhirnya sekarang sudah paham gimana ceritanya punya temen orang Aceh yang suka jajan, ya kebiasaan ini.
Adzan sama artinya dengan menutup toko. Sudah menjadi kebiasaan untuk penduduk sini terutama bagi kaum laki-laki untuk bergegas pergi ke masjid ketika adzan berkumandang. Pernah suatu kali berkunjung ke tempat makan pas sebelum maghrib. Tak lama setelah pesanan datang, seorang pelayan masuk dan memberitahukan untuk segera membayar karena kasir dan pelayan lain akan segera pergi sholat. Atau jika mau menunggu ya dibayar setelah mereka selesai. Hal ini ternyata juga berlaku di beberapa tujuan wisata. Mereka akan menutup kunjungan ketika waktu sholat tiba, jadi ya opsinya menunggu atau datang tidak pas jam sholat. Somehow, I do love this habit!
Semacam kebiasaan dan aturan yang berlaku secara tak tertulis di sini bahwa wanita memiliki jam malamnya sendiri. Tidak ada yang melarang untuk perempuan pergi ke luar hingga larut malam kecuali orang tua, suami atau keluarga. Hanya saja banyak yang menganggap wanita yang masih nongkrong atau keliaran di atas jam 10 malam bukanlah wanita yang sepenuhnya baik. I know it would be odd for some, but as long as you can handle it, that’s fine.
Itulah mungkin sedikit yang berkesan dari begitu banyak hal baru yang aku temukan selama perjalanan ini. Serambi Mekah Aceh, kukira adalah julukan yang diberikan simply karena banyaknya masjid. Eh, tapi ya gini kalo maen tapi ga banyak baca. Ternyata julukan ini diberikan karena sejarah Aceh dan Islam yang dulu pernah dipelajari pas masih sekolah. Ohya, untuk makanan, tempat wisata, dan beberapa hal lain terkait Aceh bisa di cek di postingan lainnya, ya!
1 Comment
[…] postingan pertama tentang Aceh, aku sudah sedikit membahas tentang banyaknya warung kopi di Aceh. Dan yeah, I keep my […]