Error: No feed found.
Please go to the Instagram Feed settings page to create a feed.
Cerita perpindahan dari Indonesia ke Thailand tidak akan menjadi hal yang singkat untuk dibagikan. Makanya ngga mungkin aku hanya nulis soal berangkatnya tapi ngga sharing tentang proses kedatangan dan adaptasinya. Aku tau kamu nungguin tulisan ini, kok, ehehehe. Lesgo!
Perjalanan Surabaya – Chiang Rai sebenarnya bisa ditempuh kurang lebih satu hari dengan jadwal penerbangan yang padat. Tapi aku sengaja ngga ambil flight ini karena mau mampir bentar di Changi Airport dan sekalian ngintipin Jewel yang cantik itu. Alasan lainnya, karena Min Suga pernah bilang kalo SQ itu bagus, makanya aku juga mau cobain maskapai satu ini ehehehe. Yaah, I know, doi naik business dan aku coba di ekonomi (dulu). Tapi yang penting judulnya sama, Singapore Airlines!
Nah, karena berangkat dua hari sebelumnya, aku bukan hanya mampir di Singapore, tapi juga nginap semalam di Bangkok. Bukan buat main, kok, hanya sekedar lurusin punggung di atas kasur yang empuk karena perjalanan yang ngga kelar-kelar. Akhirnya, tanggal 27 Juli sore hari aku berangkat dari Suvarnabhumi menuju Chiang Rai, ujung utara Thailand. Ngga butuh waktu lama, cukup dengan kurang lebih satu jam dan sampailah di tanah rantau yang baru.
Di bandara, aku dan dua temanku yang juga dari Indonesia sudah dijemput oleh staff kampus. Satu orang bernama Nat, dan satu lagi May – seorang staff international affair yang akan membantu kita terkait perintilan selama di sini. Berhubung kami tiba sudah gelap, jadi ngga ada yang bisa kami lakukan selain mampir di 7-Eleven buat beli makan. Setelahnya kami langsung diantarkan ke tempat tinggal kami selama di sini nanti.
Selain mendapatkan reimbursement untuk transportasi, fasilitas lain yang aku dapatkan adalah tempat tinggal gratis di dorm, tanpa bayar listrik, Wi-Fi dan air. Untuk seorang, kamar ini cukup luas, sedikit di luar ekspektasi, sih. Tapi sayangnya, untuk keperluan dasar lainnya kami harus siapin sendiri, contohnya kitchen dan bed stuff gitu. Nah, kalau dibandingin, beberapa staff lainnya tinggal di kompleks lain dengan tempat yang lebih luas dan fasilitas bagus. Karena sudah penuh, makanya kami ditempatkan di sini. There always be pros and cons, right? Makanya, syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. *you sing you lose wkwkw
Makanya, aku menghabiskan akhir minggu dengan belanja kebutuhan dasar penting. Tempat belanja yang cukup besar dan lengkap di sekitar kampus terletak cukup jauh. Yang paling dekat aja harus naik kendaraan kurang lebih 20 menit. Bahkan mall hanya ada di pusat kota yang butuh waktu 35 menit untuk ke sana. Heran juga, ini kenapa dapet rejeki tempat kerja di pinggiran kota terus. Apa biar ngga hedon, ya? wkwkwk.
Karena tiba di akhir minggu, ngga ada hal yang bisa dilakukan selain beradaptasi dengan lingkungan kampus. Dulu sebelum memutuskan buat daftar, aku menganggap kalau Mae Fah Luang University ini bakal jadi tempat yang dingin karena lokasinya. Iya, ia berada di bukit yang lebih banyak hutannya daripada bangunannya. Tapi ternyata aku tertipu! Meskipun serba ijo, kampus sama sekali ngga adem. Yeps, karena memang di bulan ini musim hujan, tapi ngga hujan, jadinya panas dan lembab rasanya. Ngga ada angin berhembus sama sekali! Maunya cuma goleran di bawah kipas angin dan minum es seharian. Beruntungnya seminggu di sini, aku mulai terbiasa sama panasnya. Sayangnya… belum terbiasa sama jalan kakinya yang jauh dan naik turun bukit! Udah abis napas duluan wkwkwkw
Anyway, untuk transportasi publik di sini agak susah. Kalo ngga ada kendaraan sendiri, opsi paling utama kalau di sekitar kampus adalah naik Kenber Car. Ini adalah fasilitas kampus yang mostly mengantar dari asrama ke gedung kuliah. Nah, kalau dari dalam kampus dan mau ke luar, harus naik lagi yang namanya songthaew dan bayar. Trus, kalau ke kota gimana dong? Yaa… pilihannya nunggu bus – yang baru sekali aku lihat selama sebulan di sini, atau songthaew tadi asal barengannya banyak, dan Grab yang lebih mahal.
Senengnya, ada temen-temen MFS yang bisa diajak ke mana-mana buat beli ini itu, jadi struggle menjadi warga baru ngga begitu berat di awal minggu. You know, salah satu hal yang bikin deg-degan sebelum sampai sini adalah tentang pertanyaan ke diri sendiri, nanti gimana, ya, caranya berteman sama orang baru. Iya, you read it right. Si introvert ini lupa caranya kenalan wkwkwkw. Fortunately, meskipun harus berbaur sama mereka dari beberapa negara yang beda, lidahku ngga keriting harus ngomong enggres terus setiap hari karena beberapa orang Indo di sini lol.
Bukan hanya adapatasi dan belanja ini itu, aku dan teman-teman harus urus beberapa persyaratan dan dokumen untuk menjadi pekerja legal. Ngga mungkin lah baru datang langsung disuruh ngajar, yang ada ya plonga plongo wkwkwk! Beruntungnya kami ngga dilepas sendirian untuk urus semuanya. Ada fasilitas mobil kampus dan May yang menemani dan membantu kami selama kurang lebih dua minggu. Yang sedikit mengejutkan adalah ternyata buat urus itu semua butuh uang yang lumayan. Aku kira ketika sampai sini, hal yang aku perlu siapkan adalah budget untuk beli kebutuhan dasar penting dan buat makan selama sebulan sampai gajian pertama. Rupanya tidak seperti itu, pemirsa!
Hal pertama yang harus dilakukan adalah tes kesehatan. Ini syukur banget, sih, karena aku ngga harus MCU yang mahal. Hanya butuh cek darah dan beres dalam satu hari. Yeay! Setelah mendapatkan surat keterangan sehat kami harus urus berkas untuk mengajukan ijin kerja biar ngga jadi warga ilegal di sini. Untuk yang satu ini cukup mengambil jatah makan untuk beberapa minggu, sih. Pengeluaran terakhir yang wajib adalah untuk buka akun bank, biar bisa terima gaji nanti ehehe. Bukan hanya hal yang berbayar doang, kami juga harus bikin akun pembayaran pajak, asuransi, dan foto ID. Semuanya gampang banget sebenernya, kita hanya perlu siapin dokumen… dan duit.
Finally, semua urusan sudah beres, resmi sudah aku jadi pengajar di School of Liberal Arts, Mae Fah Luang Unviersity. Satu minggu sebelum hari pertama di semester baru, jadwal kuliah sudah aku dapatkan. Tenang, kami ngga akan dibiarkan buta arah tentang kelas yang akan diajar. Ada rapat dan orientasi mata kuliah yang wajib diikuti. Di sini kami diperkenalkan ke seluruh dosen di SoLA dan silabus mata kuliah yang aku pegang. Untuk satu semester ke depan aku akan mengajar dua mata kuliah di enam kelas yang berbeda dari Senin sampai Jumat dengan jam kerja 18 jam seminggu.
Pertanyaannya, gimana rasanya ngajar orang Thailand yang ngga bisa bahasa Indonesia dan Inggris, dan aku yang ngga bisa bahasa Thailand?
Lanjut Part 3 kalo rame LOL!
5 Comments
Remeinnnn seruuu bacanya, aku cengengesan sendiri ini mba, 😁 lancar selalu sehat selalu
Selalu tunggu ceritanya miss Yun. Semangat kerja dan rajin-rajin juga update cerita yaaaaw❤️
waaah makasih banyak yaaa, insyaa allaah soon cerita selanjutnya
Bikin keyboard google di playstore, terus bikin bahasa thailand, 😅 tapi ada saja google translate, meskipun hasilnya kebalik² artinya.. 😁
google translate is the savior!